Hidup Terasa Tak Adil Jika Melihat Kenyataan bahwa masih ada orang di luar sana yang masih kesulitan hanya untuk makan.

Kehidupan di dunia ini tak lepas halnya seperti roda berputar. Tak selamanya kan selalu di atas dan tak selamanya pula di bawah. Semua t’lah diatur adanya oleh sang maha pencipta. Manusia hanyalah selaku pemain lakon yang telah ditentukan.

Begitulah hidup.

 

Kehidupan yang makmur, tentram tanpa kekurangan sedikitpun ternyata tidak dapat dimiliki semua orang. Di luar sana masih ada yang membanting tulang hanya untuk memenuhi isi perutnya saja tanpa memikirkan kebutuhan yang lain. Janji-janji manis serta masyarakat terjamin hanya ada di atas panggung kampanye. Jika sudah terpilih para elite itu bagaikan orang yang tuli, buta dan bisu. Jangankan memberi bantuan bagi rakyat kecil, menoleh rakyat pun enggan. Memang sangat ironis kenyataan ini. Yang miskin tetap miskin, yang kaya makin kaya.

Dunia ini sudah diperbudak oleh yang namanya uang. Bagaimana tidak, uang membutakan seseorang. Jika harta sudah berlimpah maka ia merasa paling tinggi derajatnya. Tak mau melihat kenyataan di bawah bahwa saudara-saudaranya masih ada yang melarat. Namun, semua itu hanya sebagian dari sifat manusia. Di dunia ini masih ada manusia yang mau memperhatikan sesama. Andai kata juga semua manusia di dunia menjadi orang yang berada, maka tak akan ada kehidupan, karena tak akan ada yang mau bekerja. Sejatinya segala sesuatunya telah diatur oleh yang Kuasa sehingga ada yang lahir dan ada yang mati, ada yang rupawan dan ada juga yang buruk rupa, ada pula yang kaya dan tentu ada yang miskin.

Dewasa ini kemiskinan memang belum daat dibendung. Tak hanya di daerah terpencil atau tertinggal. Di kota-kota besar juga masih dapat ditemui orang-orang yang memerlukan uluran tangan sesama. Itu semua terlihat ketika saya menelusuri Kota Singaraja, tepatnya di sekitar belakang kantor bupati Buleleng (Jalan Gunung Rinjani). Kawasan ini tergolong kawasan yang cukup elit. Hal itu karena berjejer bangunan-bangunan mewah. Serta penghuninya pun bisa dibilang golongan menengah ke atas.

Tetapi di belakang itu semua masih terlihat gubuk reot yang tidak layak untuk ditinggali. Rumah yang berdiri di areal persawahan yang masih tersisa di areal Jalan Gunung Rinjani. Rumah itu ditempati oleh keluarga I Nyoman Sarje (58) yang kehidupannya tak pernah mengenal kemewahan. Betapa tidak, rumah tersebut sebenarnya tak layak dihuni. Dinding rumahnya terbuat dari bedeg yang di depannya ditempeli potongan bambu. Rumah itu sebenarnya bukan milik I Nyoman Sarje. Ia diberikan untuk meninggali tempat itu oleh seseorang yang kasihan terhadap dirinya. “Umah niki ten tiang sane ngelahang, tiang nongosin manten (rumah ini bukan milik saya, saya hanya disuruh menempatinya saja),” ujarnya.

Lebih ironis lagi ia tidur beralaskan tanah yang hanya dibatasi tikar seadanya saat merebahkan diri. Memang sangat miris melihat kenyataan itu. “Tiang sampun biase sekadi puniki (saya sudah biasa seperti ini)”, tambahnya. Di balik itu semua I Nyoman Sarje masih tetap bersyukur karena hingga saat ini ia masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia hidup di rumah itu bersama dengan putra semata wayangnya. Sayangnya putranya mengalami gangguan mental dari umur 2 tahun. Ironisnya lagi kedua istri yang ia cintai meninggalkannya untuk selamanya. Istri pertamanya bernama I Nyoman Musti (70) yang meninggal tahun 2008 lalu karena sakit, sedangkan istri keduanya, Iluh Arini (50) meninggal tahun 2009 juga karena sakit.

Anak I Nyoman Sarje, I Kadek Sarjana terpaksa ia pasung karena sering melarikan diri dan ia sering kewalahan mencarinya. “Waktu niki polih mlaib nike, ring Gerokgak kepanggihin sareng polisine (Beberapa waktu yang lalu sempat lari, Di Gerokgak ditemukan oleh polisi),” tambahnya. Dulu anaknya tersebut pernah ia sekolahkan. Namun sering melarikan diri dari sekolah sehingga ia menghentikan pendidikan anaknya tersebut. Sebenarnya ia memiliki harapan besar terhadap anaknya sesuai dengan nama yang diberikan yaitu “Sarjana”.

Dahulu ia tinggal bersama keluarganya di Banjar Pintu, Tejakula. Ia di sana berprofesi sebagai penjual kayu bakar. Karena ingin merasakan hidup di kota, ia pun pindah dan tinggal di daerah Gunung Rinjani. Namun, semua berjalan tidak seperti yang diharapkannya. Hidupnya di kota ternyata tidak lebih baik dari tempat ia tinggal sebelumnya. Di sini ia berprofesi sebagai buruh bangunan yang penghasilannya hanya 30-35 ribu. Itupun ia dapatkan ketika ada panggilan untuk membantu tukang. Jika tidak, ia tidak tau harus bagaimana. Terkadang ia ngutang di warung untuk memenuhi isi perutnya.

Sangat menyayat hati ketika mengetahui kisah hidup laki-laki ini. Andaikan para penguasa merasakan hidup seperti I Nyoman Sarje. Tapi begitulah resiko tak mengenyam pendidikan, sulit untuk memperbaiki hidup. “Tiang driki ngandelang bantuan saking pemerintah (saya di sini hanya menghandalkan bantuan dari pemerintah)”, imbuhnya. I Nyoman Sarje sebenarnya memiliki saudara. Namun mereka tinggal terpisah bersama keluarganya masing-masing. Hanya I Gde Loka yang tinggal berdekatan dengannya. Kakaknya tersebut memelihara sapi di dekat rumahnya hasil dari “ngadas”.

Drama kehidupan memang sangat keras. Tetapi itu semua tak mematahkan semangat I Nyoman Sarje untuk menjalani semua kehidupannya. Ia hanya bisa mengharapkan ada bantuan dari orang lain untuk membantu kehidupannya.

Itulah sekilas mengenai perjuangan hidup keluarga pekerja keras. Walau dalam segala kekurangannya ia tetap mampu berjuang menghadapi pahitnya hidup. Roda kehidupannya seolah berhenti berputar, tak ada kesempatan untuk merasakan di atas.